Cari

Jumat, Oktober 06, 2023

RAJA AMPAT VAN JAVA

 


Banyak orang tahu bahwa Pacitan memiliki banyak pantai yang terletak berjajar di sepanjang garis pantai Pacitan. Salah satu yang sudah lama terkenal adalah Pantai Klayar. Pantai Klayar memiliki dua karang berukuran cukup besar yang terletak berjajar sedemikian rupa hingga jika dilihat dari jauh, dua karang ini menyerupai layar perahu. Mungkin itu sebabnya pantai ini disebut pantai Klayar.

 

Bagi yang masih ingat, sekitar 10 tahun yang lalu, keluarga presiden keenam, SBY, berkunjung ke pantai nan cantik ini dengan seluruh keluarga. Yang menarik diingat adalah mereka dolan ke pantai dengan mengenakan baju formal. Dan, sebelum mereka berkunjung ke pantai Klayar, jalanan menuju sana yang semula sempit -- cukup untuk 2 mobil berpapasan, namun butuh kelihaian sopir -- dilebarkan demi mudah dicapai oleh keluarga presiden.

 

Mulai tahun 2017 ada pantai lain lagi yang digadang-gadang bakal naik daun karena ada pemandangan ala Raja Ampat; namanya Pantai Kasap. Seperti khasnya pantai-pantai di sepanjang pantai Selatan, pantai Kasap pun memiliki pasir berwarna cenderung 'beige' (bukan putih ya) dengan butiran yang besar-besar, jika dibandingkan dengan pantai berpasir putih di pesisir Utara. Menyadari bahwa yang akan menarik para wisatawan ke pantai ini adalah pemandangan ala Raja Ampat -- gugusan karang yang terletak di tengah laut -- orang lokal pun membangun gardu pandang sebagai spot foto utama.

 

Bagi yang sudah pernah dolan ke pantai Klayar, pantai Kasap ini terletak tidak jauh, mungkin sekitar 10 kilometer, dengan trek naik turun yang asyik dilewati bagi mereka yang suka turing, entah naik motor maupun naik sepeda. Namun berbeda dengan jalan menuju pantai Klayar yang sudah cukup lebar hingga bisa dilewati bus, jalan menuju pantai Watukarung atau Kasap masih cukup sempit, hanya cukup dilewati 2 mobil yang berpapasan, tetap butuh kelihaian sopir ya jika sampai papasan dengan mobil lain.

 

Oh ya, untuk mencapai pantai Kasap, kita menuju pantai Watukarung dulu, baru ke pantai Kasap. Sepanjang jalan -- sejak pertigaan Punung -- belum ada papan petunjuk menuju pantai Kasap karena pantai ini terletak bersebelahan persis dengan pantai Watukarung. Jadi, kita bisa mengikuti petunjuk menuju pantai Watukarung ya.

 



 

Bagi yang ingin menginap di pantai Kasap, wiken kemarin saya sudah lihat beberapa homestay, belum banyak. Saya dkk menginap di pantai Watukarung. Di pantai ini sudah banyak homestay maupun hotel dengan tarif dari duaratus ribu per malam hingga jutaan rupiah. Bagi pehobi mendengarkan deru ombak yang bergemuruh, pasti akan senang menginap di pantai Watukarung, karena pantai ini terkenal dengan ombaknya yang tinggi dan bergulung-gulung tak habis-habis, hingga banyak pehobi surfing datang kesini untuk menjajalnya.

 

PT56 6 Oktober 2023

Selasa, Juni 09, 2020

Mazhab covid 19

Apa sih yang tidak dihebohkan di media sosial? :D

 

Ketika pertama kali berita virus corona alias covid 19 melumpuhkan Wuhan, China, kita orang-orang Indonesia (ternyata) terbelah minimal menjadi dua. Pertama, yang langsung 'ngeh' kemungkinan virus ini akan 'hijrah' ke Indonesia. Mungkin hanya sedikit persentase kelompok pertama ini. Kedua, yang beranggapan bahwa virus tidak akan sampai ke Indonesia, seperti kasus flu burung sekian tahun lalu, misalnya. Honestly, aku termasuk yang lugu, jadi masuk kategori kedua ini.

 


Ketika kemudian kasus covid mulai ditemukan di negara-negara lain, misal Malaysia, Singapore, sebagian dari para pengguna medsos masih menganggapnya 'jauuuuh'; sebagian dari mereka -- aku termasuk, lol -- turut memviralkan gambar orang-orang China yang melindungi diri mereka dengan berbagai jenis barang yang menurut kita nampak lucu. Lol. (Sekarang, aku menulis ini di bulan Juni 2020, tak lagi kupandang gambar-gambar itu lucu. Hadeeeh.)

 

Awal Februari, aku menghadiri satu acara launching pabrik sepeda lipat Da*** di Kendal, tak jauh dari Semarang. Semula, Dr. Hon sang pendiri direncanakan akan datang. Namun rencana ini batal karena ternyata mulai awal Februari, Indonesia tidak menerima penerbangan dari China; kebetulan saat itu Dr. Hon sedang berada di China, meski katanya dia berwarga negara Amerika. Sebagian peserta menyayangkan batalnya Dr. Hon untuk datang ini karena terpaksa acara penandatanganan sepeda yang terpilih pun batal. Beberapa kawan membayangkan akan memiliki memorabilia jika sepeda mereka terpilih untuk ditandatangani langsung oleh Dr. Hon. Aku sendiri mulai berpikir, "Owh, ancaman virus satu ini nyata adanya sampai pemerintah melarang penerbangan dari China masuk Indonesia."

 



 


Awal Maret 2020 Presiden Jokowi sendiri yang mengumumkan adanya pasien pertama kedua dan ketiga yang tertular virus corona; mereka 'mendapatkan' virus ini dari seseorang dari Jepang yang mereka temui di satu acara. Tak lama kemudian, pertengahan Maret, pemerintah menginstruksikan untuk 'stay at home' dengan ditandai ditutupnya sekolah-sekolah dan kantor-kantor pemerintah. Anak-anak sekolah mulai mempraktekkan 'study from home' dan pekerja 'work from home'.

 

Saat ini masyarakat mulai terbelah menjadi dua

 

(1) mazhab kesehatan: orang-orang yang memikirkan kesehatan lebih penting ketimbang yang lain-lain. Biasanya yang termasuk 'mazhab' ini mereka yang bisa 'work from home'; atau kalau pun terpaksa dirumahkan, mereka memiliki tabungan untuk hidup beberapa bulan ke depan sampai kondisi dinyatakan kondusif oleh pemerintah.

 

 

(2) mazhab ekonomi: orang-orang yang harus terus bekerja agar dapur tetap ngebul, mereka tidak peduli dengan ancaman virus.

 

 


Jika kuperhatikan, awal pemerintah mengumumkan 'stay at home' 'study from home' atau pun 'work from home', jalanan benar-benar sepi, orang-orang lebih memilih tinggal di rumah dari pada keluyuran di jalan; meski mereka yang berkiblat ke mazhab ekonomi tentu tetaplah keluar rumah untuk mengupayakan agar mereka menerima pendapatan, entah bagaimana caranya.

 

Jika di pertengahan Maret, pemerintah menyatakan 'stay at home' ini 'hanya' akan berjalan selama 2 minggu, kenyataannya pemerintah memperpanjangnya hingga akhir Mei 2020. Anak-anak sekolah terus belajar di rumah; sebagian PNS/ASN bekerja dari rumah.

 

Dan, ternyata 2 bulan ini dirasa terlalu lama bagi sebagian orang. Sebagian media massa pun mengompori bahwa sebenarnya covid 19 ini hanyalah konspirasi pihak-pihak tertentu; WHO sering dituduh sebagai pihak yang mengadu domba negara-negara. Selain itu, pemerintah negara China menuduh Amerika menciptakan virus ini dan mengirim warganya ke Wuhan di bulan Oktober 2019 untuk menularkan virus ke penduduk Wuhan, sementara negara Amerika pun menuduh China ingin menghempaskan Amerika karena China ingin menjadi negara super power, menggantikan Amerika.

 

 

Awal Juni ketika pemerintah mulai mengumumkan kemungkinan pemberlakukan 'new normal' di bulan Juni dibarengi dengan merebaknya 'mazhab halusinasi'; aku sempat menemukan satu pernyataan seseorang (konon) mantan pasien covid 19 yang sempat dirawat di Wisma Atlet Kemayoran (yang difungsikan sebagai RS rujukan pasien covid 19) bahwa virus corona ini hanyalah halusinasi; kenyataannya tidak ada pasien yang mati karena virus corona; mereka yang mati ya karena penyakit yang telah 'menjangkiti' mereka sekian lama. Postingan ini ingin menyatakan bahwa virus corona tidak semengerikan yang digembar-gemborkan media. Selain itu juga ada maksud memojokkan pemerintah. Berhubungan dengan pemberlakukan 'new normal', dimana untuk melakukan perjalanan luar propinsi/pulau seseorang wajib menyertakan surat sehat bebas dari covid 19 dan untuk mendapatkan surat itu seseorang harus membayar biaya yang cukup mahal.

 

 

Padahal menurutku jika rakyat dipersulit untuk melakukan perjalanan -- karena mungkin memang virus corona ini hanya konspirasi/halusinasi -- sedikit banyak akan mempengaruhi sektor ekonomi juga. Daerah-daerah yang biasanya menggantungkan pemasukan dari sektor wisata akan terkena dampak berkepanjangan. Jika ini terjadi tentu akan kembali ke pemerintah yang susah. Bukankah dengan pemberlakuan PSBB atau pun PKM pemerintah harus mengeluarkan dana yang sangat banyak dalam pemberian BLT? Selain selama ini jika seorang pasien terbukti positif covid, segala biaya rumah sakit ditanggung oleh pemerintah?

 

 

Well, jikalau bisa hingga bulan Juni ini aku tetap memasukkan diri dalam mazhab kesehatan. Akan tetapi tentu sebagian kita tidak bisa terus menerus tinggal di rumah dengan jumlah tabungan yang terbatas; kita harus kembali bekerja, tentu dengan melakukan protokol kesehatan dengan ketat.

 

Marilah dukung pemerintah untuk terus menekan laju penyebaran covid 19.

 

LG 15.30 09-June-2020



bisa check tulisanku lain tentang covid 19 disini ya gaes.

Minggu, Januari 20, 2019

Crazy Stupid Love




Dua tokoh sentral dalam film ini menarikku untuk membahas: Cal Weaver dan Jacob. Mereka memiliki karakter yang bertolak belakang disebabkan pengalaman hidup yang juga bertolak belakang.

Cal dikisahkan sebagai seorang laki-laki romantis dan seumur hidupnya hanya mencintai satu perempuan, yang membuatnya jatuh cinta ketika dia baru berusia 15 tahun. Cal menikahi Emily tak lama setelah mereka bertemu, kemudian punya anak, dan kehidupan terus berlangsung hingga satu kali Emily mengatakan ingin bercerai karena dia telah tidur dengan laki-laki lain.

Cal yang terlalu shocked mendengar pernyataan itu, buru-buru memutuskan untuk meninggalkan rumah. Disebabkan patah hati yang akut, Cal pun menghabiskan hari-harinya di satu night club, dimana dia berkenalan dengan Jacob.

Jacob adalah anti tesis Cal. Dia tidak percaya cinta sejati itu ada. Untuk menghibur malam-malamnya yang kesepian, dia mencari perempuan yang bisa diajaknya berkencan semalaman. Perkenalan mereka berdua didasari pada dua hal yang bertentangan : Jacob heran ada seorang laki-laki yang begitu mencintai seorang perempuan sampai begitu rapuh hatinya saat ditinggal istrinya. Cal heran ada seorang laki-laki yang begitu mudah mendapatkan perempuan yang dibawanya pulang setiap malam.

Diam-diam Jacob tidak terima ada seorang laki-laki yang terpuruk gara-gara kegagalan cinta. Dengan sepenuh hati, dia mengajari Cal untuk bangkit, mengajarinya berdandan agar tidak nampak ketinggalan zaman; juga mengajarinya untuk mendekati perempuan hingga tak perlu lagi Cal patah hati.

Namun, ternyata diam-diam Jacob justru merasa ingin kehangatan rumah (tangga) dimana tiap malam ada seorang perempuan yang sama yang akan menemaninya dan tak perlu lagi bertualang.

Permasalahan muncul ketika Jacob bertemu dengan Hannah, anak pertama Cal dan jatuh cinta padanya. Cal yang mengenal Jacob sebagai seorang 'womanizer' tentu tidak terima jika anak gadisnya berpacaran dengan Jacob. :)

Pesan moral yang ingin disampaikan oleh si penulis script: budaya Amerika ternyata tetap memimpikan kehidupan keluarga yang hangat dan penuh cinta. :)

LG 18.12 12/01/2019

Good Look versus Brain




Sekian puluh tahun yang lalu (yup, saya sudah tua. Lol.) saya punya seorang rekan kerja laki-laki yang( menurut saya) cerdas. Saya bayangkan dia tentu akan memilih seorang perempuan yang cerdas untuk menjadi pasangan hidupnya. Waktu saya tahu dia mulai 'flirting' seorang kawan kerja lain, perempuan, cantik jelita, namun kecerdasannya pas-pasan, saya pikir dia hanya sekedar flirting, ga lebih dari itu. Apalagi setahu saya si perempuan sudah punya pacar. Maka betapa kaget saya waktu tahu bahwa si laki-laki serius.

Singkat cerita, kawan laki-laki saya ini berhasil memenangkan hati si perempuan yang cantik jelita itu. Satu kali saya mendapatkan undangan pernikahan mereka. Oh, betapa pilihan orang itu sering tak terduga ya?

Beberapa tahun kemudian, di satu tempat kerja lain, saya punya seorang kawan kerja perempuan yang cerdas. Di luar dugaan ternyata kawan kerja perempuan ini adalah adik laki-laki si laki-laki yang saya kisahkan di atas. Betapa dunia ini sempit. :) oh no, Semarang memang sempit. Lol. Saya dan dia lumayan sering ngobrol, mulai dari hal-hal serius tentang materi ajar (kita sama-sama mengampu mata kuliah yang berbau Sastra) sampai akhirnya saya tahu bahwa dia adik si laki-laki yang pernah menjadi rekan kerja saya di instansi lain, sekian tahun lalu.

Out of curiosity, saya bertanya tentang istri kakaknya itu. Di luar dugaan (lagi! Lol) ternyata dia dan adiknya pun menyayangkan pilihan kakaknya. "Memang dia cantik sih mbak, tapi ya gitu deh, seperti porselen, Cuma bisa dilihat, tapi kalau diajak bahas sesuatu, ga paham."

"Eh, saya ga sangka lho ternyata kakakmu yang cerdas itu memilih perempuan itu sebagai istrinya." kata saya.

"Mungkin kakakku tipe laki-laki yang berpikir bahwa istri itu kanca wingking, selain yang bisa dipamerkan pada dunia luar bahwa istrinya cantik."

"Kupikir laki-laki yang berpikir seperti itu adalah laki-laki yang tidak pede pada dirinya sendiri, tidak pede pada kecerdasannya di depan perempuan. Padahal kakakmu itu kan cerdas ya."

"entahlah mbak, sebagai adiknya aku juga ga tahu apa yang jadi pertimbangannya ketika memilih istri." kata kawan saya.

"Meski konon kecerdasan anak-anak itu menurun dari sang ibu, semoga keponakan-keponakanmu menuruni kecerdasan ayahnya," sahut saya.

Note:
  1. Obrolan ini terjadi hampir 20 tahun lalu.
  2. Mendadak saya pingin nyinyir hari ini. Lol. Saya nyinyir, maka saya eksis. Ini motto saya hari ini. Lol.
  3. Mendadak teringat kisah sekian puluh tahun lalu ini gegara melihat fenomena perempuan-perempuan cantik namun tidak kritis menganalisis apa yang sedang terjadi di tahun politik ini. Saya tidak (lagi merasa) cantik jadi bebas. Lol. Oh ya, saya lupa, ada pemahaman "beauty is in the eyes of the beholder" kok ya. Standar cantik ini pun hanya sekedar persepsi, seperti bego. Kekekekeke …

13.38 14/01/2019

Rabu, September 19, 2018

Kalimbuang Bori nan Mistis namun Eksotis

Segala hal yang berbau sejarah selalu menarik bagiku, apalagi jika itu dikaitkan dengan masa pra sejarah, masa yang begitu lama telah berlalu.

Mengapa?

Entahlah. :)

Ketika berencana mengunjungi Tana Toraja bersama kawan-kawan Komselis (Komunitas Sepeda Lipat Semarang) sebelum mengikuti event "naik hajinya" pehobi sepeda lipat se-Nusantara a.k.a Jamselinas 8 yang diselenggarakan di Makassar, tentu aku membayangkan bakal mengunjungi satu lokasi dimana orang-orang Toraja mengubur, eh, meletakkan mayat keluarga mereka yang telah meninggal. (Setelah kesana baru tahu kalau namanya LONDA. better late than never yak? :) ) Selain itu? Aku tidak tahu apa-apa lagi.


Ternyata aku langsung jatuh cinta pada Kalimbuang Bori, satu lokasi wisata yang sebenarnya juga tak jauh berbeda dengan Londa, yakni tempat mengubur jenazah. Bedanya adalah jika di Londa, mayat atau jenazah diletakkan dalam peti kemudian peti dimasukkan ke dalam goa, di Kalimbuang Bori, peti diletakkan dalam (atau disamping ya?) batu-batu besar. Besarnya batu-batu itu sangat bervariasi ukurannya. Semakin banyak kerbau yang disembelih dalam upacara penguburan jenazah, semakin besar batu yang akan diletakkan di lokasi ini. Jumlah minimal kerbau yang disembelih dalam upacara penguburan jenazah di Kalimbuang Bori adalah 24 ekor.

Konon ada 102 menhir di kawasan ini. (Menhir adalah sebutan batu yang dipasang tegak sebagai bentuk pemujaan pada nenek moyang.) Ada 54 menhir ukuran kecil, 24 menhir ukuran sedang, dan 24 lain dalam ukuran besar, lebih besar ketimbang manusia biasa.

Kalimbuang Bori diperkirakan telah ada sejak tahun 1718. Sedangkan menhir pertama dipercaya didirikan pada tahun 1657. (Oh ... how I wish it had existed since pre-historic era. lol.)

Di lokasi ini, selain 'serakan' menhir dan beberapa tongkonan -- bangunan tradisional Toraja -- ada juga goa batu tempat disemayamkannya peti-peti mati berisi jenazah, atau mungkin sudah tinggal tulang belulang. Ketika aku kesana, terlihat ada satu atau dua peti mati yang nampak masih baru, mungkin baru berusia sekitar 3 bulan.

Karena kita buru-buru harus kembali ke Makassar, kita tidak sempat menjelajah ke seluruh area di kawasan Kalimbuang Bori ini. :(

Let us hope to be able to visit this exotic small city again, Tana Toraja. :)

IB180 19.46 19/09/2018

Senin, Maret 14, 2016

Komunitas O Komunitas




Pertama kali B2W Semarang dibentuk di bulan Juni 2008, para ‘founding fathers’ memilih bentuk ‘komunitas’ sebagai kumpulan kita. Saya yang belum tahu apa-apa, yang biasanya adalah makhluk individual, bukan social, manut saja.


Sebagai sebuah ‘organisasi’ non profit, yang baru dibentuk, para anggotanya sangat bersemangat untuk berkumpul, untuk mengkampanyekan gaya hidup sehat dan ramah lingkungan ini : bersepeda ke tempat beraktifitas (kantor, sekolah, kampus, dll). Bagaimana cara kita berkampanye? Kita mengadakan bersepeda bersama di hari Minggu pagi, membagikan flyer yang berisi ajakan bersepeda ke tempat kerja. Kita juga sempat membagikan bike tag “B2W Semarang” kepada orang-orang yang kita lihat berangkat bekerja dengan naik sepeda. Ini beberapa kali dilakukan oleh kawan-kawan yang bisa “bergerilya” di hari-hari kerja tentu saja, misal hari Jumat.

bike tag buatan tahun 2008

KOMUNITAS vs KLUB

Sekian bulan berlalu. “Anggota” komunitas semakin banyak. Namun yang di awal-awal sempat ikut kumpul, pelan-pelan menghilang, tak lagi kelihatan batang hidungnya. Untuk mengantisipasi hal ini, kita sempat berdiskusi bagaimana agar kita bisa “mengikat” mereka yang pernah bergabung. Seseorang menyarankan untuk mengadakan iuran bulanan, yang dibayarkan ketika kita mengadakan rapat, sekaligus mengisi kas dimana uangnya bisa kita gunakan ketika kita mengadakan event. Beberapa kawan lain menyatakan ketidaksetujuannya. Jika kita melakukan “ikatan” terhadap anggota, kumpulan kita bukan komunitas lagi namanya, melainkan klub. Uang iuran dan keanggotaan yang ketat itu milik klub, bukan komunitas. Sementara B2W Semarang bermula dari kesadaran untuk ikut membantu pemerintah mengurangi ketergantungan pada gas bumi, sekaligus mengurangi polusi lingkungan. Organisasi yang kita 'miliki' tidak bersifat mengikat, apalagi eksklusif. Hal ini lebih dipilih oleh mayoritas ‘anggota’ yang hadir pada waktu itu. Tidak ada iuran bulanan, tidak ada ‘uang pangkal’ yang harus dibayar oleh seseorang ketika ingin bergabung bersama organisasi kita. Namun, jika ada yang ingin menyumbang, kita persilakan.

Maka begitulah. ‘Anggota’ B2W Semarang datang dan pergi. Hingga akhirnya semua pergi. LOL. Saya hanya punya kenalan kawan-kawan yang suka bersepeda, yang biasanya mau saya ajak bersepeda bareng ketika kita mengadakan event.

BIKE TO WORK sebagai GERAKAN MORAL

Beberapa kali bertemu dengan Om Toto, ketua organisasi B2W Indonesia, saya selalu mendengar beliau menyebutkan bahwa B2W bukanlah komunitas, melainkan gerakan moral.  Gerakan moral untuk menyadarkan masyarakat pentingnya mengurangi ketergantungan pada BBM demi masa depan anak cucu kita, mengurangi polusi udara, dan di beberapa kota besar, seperti Jakarta, mengurangi kemacetan di jalan raya.

Bagaimana cara kerja gerakan moral ini bekerja? Saya pribadi tentu dengan menjadi praktisi bersepeda ke tempat-tempat saya beraktifitas. Menuliskan pengalaman saya bersepeda di blog untuk menginspirasi orang-orang lain melakukan hal yang sama. Sepeda bukan hanya cocok untuk olahraga di akhir pekan. Sepeda juga bisa menjadi moda transportasi handal, bahkan di Semarang yang topografi geografinya penuh tanjakan dan turunan. Jika kita mau. J Sepeda bahkan juga bisa kita jadikan moda transportasi yang menyehatkan kala berwisata. J Untuk ini, saya melakukan satu kegiatan yang biasa saya sebut sebagai “bikepacking”.

Apakah anda termasuk orang yang suka berorganisasi? Bagaimana pengalaman anda?

LG 12.52 14/03/2016

Selasa, Juli 28, 2015

Indonesia ... My Indonesia :)




Barangkali, satu hal yang membuat masyarakat Indonesia – kebanyakan – tidak bisa memahami situasi di propinsi-propinsi lain di negaranya adalah karena Indonesia adalah negara kepulauan. Propinsi-propinsi tersebut terletak di pulau-pulau yang berbeda, ditambah dengan pembangunan yang tidak (atau belum) merata plus biaya transportasi yang tidak bisa dibilang murah membuat banyak orang ogah-ogahan untuk mengenal propinsi-propinsi lain dengan tradisi masyarakat yang tinggal disana dengan cara berkunjung langsung kesana. Dan dikarenakan “silau” dengan segala hal yang berbau “luar negeri”, orang-orang Indonesia pun akan lebih memilih berwisata ke luar negeri ketimbang ke luar pulau (maksimal hanya ke Bali lah mereka berwisata.)


Kebetulan aku terlahir dari sepasang suami istri berdarah Gorontalo – Sulawesi Utara – yang telah hijrah ke Semarang beberapa hari setelah hari pernikahan mereka. Kebetulan (lagi) mereka berdua nampaknya bukan tipe orang yang suka traveling (no idea why in the very first place my dad moved to Semarang a few decades ago then), dan bukan tipe orang yang “mengagung-agungkan” mudik sehingga tiap lebaran tidak harus pulang kampung. Satu-satunya alasan yang dipakai untuk menjawab pertanyaan orang pas lebaran, “pulang kampung kah lebaran ini?” adalah “biaya untuk pulang kampung mahal sekali.” Seumur-umur kedua orang tuaku mengajak anak-anaknya ke Gorontalo hanya sekali, yakni sebelum adik bungsuku lahir. :)

Beberapa tahun yang lalu waktu aku mengajar di satu instansi pemerintah di Demak, salah satu siswaku memiliki suami yang berasal dari Sulawesi Selatan. Siswaku itu bercerita tiap lebaran sang suami bersikeras untuk selalu mengajak istri dan anak-anaknya untuk pulang kampung ke Sulawesi. Jika tidak, bisa jadi sang suami akan menangis. :) maka, kata siswaku itu, sepanjang tahun mereka akan menabung untuk kemudian mereka ‘belanjakan’ tabungan itu dalam hitungan hari è mudik ke kampung halaman sang suami.

Kisah ini cukup membuatku terperangah.

Aku pun menjadi bertanya-tanya, mengapa bagi kedua orang tuaku mudik bukanlah satu hal yang magis sehingga mereka tak merasa perlu harus mudik ke kampung halaman.

Beberapa bulan lalu seorang teman facebook menulis status tentang hal ini: negara Indonesia yang merupakan negara kepulauan membuat masyarakat Indonesia enggan mengenal tradisi masyarakat di propinsi-propinsi lain. Mereka cenderung tidak mau tahu. Plus traveling masih dianggap sebagai satu “barang” mewah. Sehingga ya begitu lah, mereka bisa jadi mirip seperti katak dalam tempurung. Bahkan di era internet seperti ini, dimana kita bisa “berkunjung” ke propinsi-propinsi lain secara virtual, untuk lebih mengenal kondisi geografi maupun demografi pulau-pulau lain, masih banyak orang-orang yang “melek” internet hanya untuk bersosial-media saja. Well, tidak ada salahnya sih bersosial-media. Namun tanpa memaksimalkan penggunaan internet – yang merupakan a very huge library – sehingga tetap saja berpikir secara lokal, what’s the point?

Waktu itu aku komen, “Aku hanya pernah mengunjungi Bali, di luar pulau Jawa. Gimana lagi, mau ke pulau-pulau lain biayanya mahal je.” Oleh si pemilik TS, aku dikomentari, “Berarti Mbak Nana tetap kuanggap sebagai sangat kejawaan,” Hihihihi ... (Eh, aku lupa, aku sudah pernah ke Kalimantan dan Sulawesi, pada usia yang masih sangat muda. Waktu itu belum ada direct flight dari Semarang ke Gorontalo hingga kita harus lewat Banjarmasin – Balikpapan – Palu, mana perjalanan butuh 2 hari pula. LOL. Malah asik ya, bisa sekalian jalan-jalan ke Kalimantan.)

Maka, waktu akhirnya aku traveling ke pulau Lombok di akhir Juni 2015 yang lalu, aku anggap itu adalah awal yang bagus bagiku untuk lebih mengenal negara tercinta. :) (Aku berkunjung ke Gorontalo di usia yang masih sangat muda hingga tak ingat apa-apa. LOL.)

Hmmm ... what can I say about Lombok?

Seorang teman yang (awalnya) kukenal lewat facebook, dan kita berkesempatan kopdar waktu aku ke Lombok mengatakan satu hal yang sungguh tak pernah aku ketahui. “Jika terjadi peristiwa kecurian di pulau Bali, pelakunya pasti bukan orang Bali. Kalau bukan pendatang dari pulau Jawa (dia menyebut satu kota yang terletak paling dekat dengan Bali), pasti dari Lombok. Kau tahu? Ada daerah-daerah tertentu di Lombok dimana masyarakatnya menganggap kelihaian mencuri merupakan satu kualitas yang akan dilihat oleh calon mertua untuk mengangkat seseorang menjadi calon menantu.” WAH!

Yang mengatakan hal ini tidak hanya satu orang, Mbak Ely. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Om Helmanus, waktu beliau tahu kisah kamera Ranz yang dicuri orang waktu kita mampir ke satu mini market di Bali. “Pencurinya pasti bukan orang Bali. Kalau bukan orang Jawa, pasti orang Lombok.” Wew.

I love Lombok, especially its lovely beaches. (Meski aku setuju dengan Abangku yang cintanya pada Bali tak tergoyahkan meski banyak tempat-tempat indah lain di Indonesia.) Namun dengan mengenal tradisi di tempat-tempat lain, kita bisa lebih ‘alert’ ketika kita berkunjung ke lokasi tersebut.

Aku dan Ranz tentu tidak kapok berkunjung ke Bali dan Lombok. Tak lama setelah kita balik dari bikepacking kita, kita berdua sama-sama mengaku telah merindukan Bali dan Gili Trawangan. :) Next time kita akan lebih alert tentu saja. 
 
Semoga usaha pemerintah saat ini untuk menjembatani pulau-pulau agar transportasi mudah dan murah segera terwujud. Semoga rakyat Indonesia kian mengenal negaranya dengan cara berkunjung ke pulau-pulau lain, megenal kondisi di tempat lain, hingga mereka tak mudah terbakar emosi ketika terjadi satu huru-hara di satu lokasi dan buru-buru mengatakan akan mengirim laskar jihad, tanpa tahu kondisi geografis maupun kultural lokasi tersebut.

PT56 15.31 20/07/2015